Minggu, 19 Mei 2019

Kontekstualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Di Era Modernisasi Oleh Ksatriawan Zaenuddin

KONTEKSTUALISASI NILAI-NILAI TASAWUF DI ERA MODERNISASI
 DISUSUN OLEH: KSATRIAWAN ZAENUDDIN

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala Puji dan syukur bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur kepada Rasulullah Muhammad SAW. yang mengeluarkan kita dari yang tak berkehidupan menuju kehidupan kebahagiaan dan kedamaian.
Berangkat dari karunia dan hidayah Allah SWT, penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul Kontekstualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Diera Modernisasi, sebagai persyaratan mengikuti Intermediate Training (LK II) yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Pusat Utara pada tanggal 19-30 Juli 2016 di Graha Insan Cita.
Makalah ini tak dapat selesai tanpa bantuan yang diberikan kepada penulis, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada HMI Komisariat Ahmad Dahlan dan HMI Cabang Gowa Raya, terkhusus kepada kakanda Arif Hamzah, Upi, Muhammad Ridwan dan kakanda Akbar yang telah memberikan dorongan dan motivasi yang sangat bermanfaat. Penulis juga berterima kasih kepada kakanda Alumni (KAHMI) sekaligus sebagai orang tua penulis yang banyak memberikan petunjuk dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidaklah mudah dan masih terdapat banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun sebagai bahan penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan membuka cakrawala pengetahuan dalam menjalankan mandat mulia dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
                                                                       Makassar, 13 Juli 2016
                                                                   
                                                                            Hormat Kami


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................         i
DAFTAR ISI.......................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang…………………………………………….         1         
B.     Rumusan Masalah…………………………………………         3
C.     Tujuan Penulisan………………………………………….          4
D.    Manfaat Penulisan………………………………………             4
BAB II: PEMBAHASAN
A.    Tasawuf……………………………………………………        5
1.      Definisi Tasawuf………………………………………          6
2.      Hubungan Tasawuf Dengan Islam…………………….           8
B.     Modernisasi………………………………………………..        9
1.      Definisi Modernisasi…………………………………..         10
2.      Pertumbuhan dan Perkembangan Modernisasi………..           11
3.      Problematika Manusia Modern ……………………….         14
C.     Tasawuf Jawaban Era Modernisasi atas
 Keterkungkungan Manusia…………………………….         18
1.      Nilai-Nilai Tasawuf: Jawaban Alienasi……………….             19
2.      Tasawuf Dan Indonesia……………………………….           23
3.      Hubungan HMI dan Tasawuf…………………………           24
BAB III: PENUTUP
A.    Kesimpulan………………………………………………...         27
B.     Saran……………………………………………………….        28
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..                       29

  

BAB I
PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang
Diera modern saat ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi berbagai kemudahan bagi manusia dalam bekerja dan mengakses informasi tanpa batas. Namun, perkembangan tersebut membuat manusia berpikir,  dan bertindak mekanistis. Begitu pula dengan budaya, dimana budaya asing sangat mudah masuk dan berakulturasi dengan budaya-budaya pada suatu negara atau wilayah tertentu yang notabenenya merupakan budaya yang bersifat materialistis dan hedonis yang sangat rentan mempengaruhi manusia. Tak pelak berhenti disitu saja, perkembangan tersebut memudahkan masuknya berbagai pahaman atau ideologi dalam suatu negara dan ikut mempengaruhi kepribadian manusia.
Dampak dari modernisasi adalah terjadinya pergolakan ideologi yang sulit dibendung seperti kapitalisme, imperialisme, komunisme dan kerabat dari materialisme.Ideologi-ideologi materialisme salah satunya, Kapitalisme yang saat ini berkembang besar membuat manusia terhegemoni dan terkooptasi berbagai hirup pikup dunia materialisme yang sifatnya hedonis, hingga mengalami kelupaan dan teralienasi menjadi manusia yang dibentuk dan mengikuti arus perubahan sosial yang dikendalikan oleh ideologi Kapitalisme.
Secara histroris, Kapitalisme memulai ekspansi besar-besaran, disaat arus benturan ideologi yang diakhiri oleh kekalahan Komunisme (Uni Soviet) dan dimenangkan oleh Kapitalisme yaitu Amerika Serikat, sehingga Kapitalisme semakin agresif dalam ekspansi pengaruh untuk menguasai berbagai negara khususnya Indonesia.
Salah satu cara kulturalisasi Kapitalisme di Indonesia yaitu memberikan dokrin bagi generasi-generasi muda sebagai efektifitas dan efisiensi yang bertujuan melahirkan negara yang konsumtif dan menenggelamkan konsep-konsep humanisasi ke dehumanisasi individualitis dimana manusia teralienasi dengan dirinya dan manusia yang lain.
Ketika manusia teralienasi dengan dirinya dan manusia yang lain, maka kesadarana manusia dengan alam semakin berkurang dan bahkan sampai tidak ada. Hal ini terjadi karena manusia ikut dalam sistem Kapitalisme yang mengekploitasi alam dan berdampak dari ketidakseimbangan seperti pemanasan global, polusi, tsunami, peperangan dan berbagai fenomena alam.
Demikianpula dalam masalah kepercayan atau keyakinan dengan tuhan, karena manusia lebih mengutamakan hal-hal dunia yang sifatnya materialistis, individualistis dan mekanistis, sehingga kepercayaan dan keyakinan dengan tuhan semakin berkurang dan bahkan sampai menjadi atheis. Dengan demikian, problematika manusia semakin kompleks, mulai dari manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan alam dan manusia dengan tuhan diera modernisasi.
Urgensi modernisasi adalah perlunya membendung ideologi yang jauh dari fitrah manusia dan falsafah Negara Indonesia seperti yang dipaparkan diatas yakni Kapitalisme. Menurut Max Weber dalam buku Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, bahwa cara membendung kapitalisme adalah dengan membangkitkan etika manusia. Etika manusia inilah yang mengembalikan ke fitrahnya sebagai manusia yang suci. Sebagaimana sejarah rekonstruksi etika manusia yang sangat fenomenal, mengeluarkan bangsa arab dari kebodohan ke bangsa yang berperadaban dengan ajaran Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Islam dengan kitabnya, Al-Qur’an telah menjawab segala problematika manusia masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang hingga dunia berakhir. Terkhusus ayat Al-Qur’an mengenai rekonstruksi etika manusia, misalnya:
Sesungguhnya kami telah mensucikan mereka dengan menganugerahkan kepada mereka akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. (QS. Sad: 46)
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (manusia) memberisedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamian diantara manusia.Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami beri pahala yang besar. (QS. An-Nisa:114)
Dan hamba-hamba yang baik Tuhan Yang Maha Penyayang itu (Ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati (tidak sombong) dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(QS. Al-Furqon: 63)
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (dijalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi sya’fat…..(Al-Baqarah: 254).
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit.(QS. Ar Rad: 26)
Itulah beberapa ayat Al-Qur’an yang membahas pembentukan etika manusia, yang tentu saja harus dilandasi dengan kesadaran diri. Kajian Islam yang membahas dalam membangkitkan kesadaran diri manusia dikenal dengan Tasawuf, yang berorientasi kepada penyucian diri dari dalam diri sendiri atau mengedepankan aspek spiritualnya yang tentu saja dapat membangkitkan kesadaran manusia apalagi di era modernisasi.
Oleh karena itu, Tasawuf perlu dikontekstualisasikan terhadap nilai-nilai yang dibawakannya sebagai jawaban atas tantangan zaman menjadi manusia yang beretika, manusia Insan kamil. Manusia yang sadar akan dirinya, kondisi sosial, alam, dan manusia dapat menyimbangkan urusan dunia dan Ilahi yaitu hablum minannas dan hablum minallah dalam peran sebagai hamba dan sebagai khalifah yang membawa pembaharu dan pencipta masyarakat yang berperadabadan dalam arus modernisasi saat ini.

   B.     Rumusan Masalah
Urgensi rumusan masalah yang dapat kita garis bawahi dalam latar belakang adalah sebagai berikut….
“Bagaimana Kontesktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Diera Modernisasi sebagaijawaban atas tantangan zaman”?


   C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah yang merujuk dari rumusan masalah adalah sebagai berikut.
a.       Untuk mengetahui bahwa tasawuf dapat membangkitkan kesadaran diri manusia.
b.      Untuk mengetahui bahwa tasawuf dapat menjawab Menjawab Tantangan Zaman Diera Modernisasi.

   D.    Manfaat Penulisan
Memberitahu bersama-sama bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin jawaban atas diberbagai zaman.Islam adalah modern, dan sesuai dengan ilmu pengetahuan, Islam adalah agama yang melahirkan manusia insan kamil yang sadar sebagai hamba dan khalifah sebagai jawaban diera modernisasi membendung Kapitalisme.

BAB II
PEMBAHASAN

    A.    Tasawuf
Pandangan para ulama tentang Tasawuf (Sufi) sangat diminati, sebagai jalan atau latihan untuk mengembangkan kesucian batin atau hati. Menjaga kehormatan diri dengan etika yang tinggi agar Tuhan menghendaki adanya kesatuan wujud dalam keabadian, sehingga para ulama memilih tasawuf sebagai alternatif pilihan  karena keterlibatan seseorang dalam tasawuf, tidak lagi berpikir secara mendasar dan mendalam, namun lebih diutamakan, pembersihan diri dengan senantiasa berzikir mengingat Allah SWT.[1] Sufi harus tahu tentang diri dalam hubungan yang mutlak dan yang terbatas serta tidak merepsentasikan kesadaran akan derita batin yang dirasakan orang lain sebagai kebutuhan alamiahnya dan kesadaran batin akan kebutuhan spiritual.[2]
Menurut Ibnu Kaldun dalam Mukkadimahnya bahwa tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu syariat yang muncul dikemudian hari dalam agama. Pada dasarnya, pendekatan para ulama salafnya seperti para sahabat dan para tabi’in yang datang sesudahnya merupakan pendekatan yang benar dan berhak mendapat petunjuk, yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan memfokuskan pengabdian kepada Allah, menghindari kemegahan dan gemerlap dunia dengan segalah perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya, dan mengasingkan diri dari keramaian dunia dan berkhalwat untuk memusatkan diri dalam ibadah. Aktivitas semacam ini merupakan fenomena umum dikalangan para sahabat dan ulama salaf.[3]
Keabsahan tasawuf dapat mengisyaratkan pengambilan sikap penghakiman (judgment) dengan implikasi serius, karena menyangkut pengalaman keruhanian seseorang. Pengalaman mistisme kaum Sufi (tasawuf), mengarah ke dalam dan dengan diri sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena itu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri.[4]
   1.      Definisi Tasawuf
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli baik kalangan sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan, terhadap kata “tasawuf”. Namun, tidak mungkin mencantumkan semua definisi, karena sebagian memiliki kesamaan di dalam mendefinisikan tasawuf yang sangat sulit dan diperlukan kehati-hatian.Maka dari itu, baiknya menelusuri asal-usul penggunaan kata tasawuf sebelum mendefinisikannya.[5]
Tasawuf berasal dari kata “shafa”, artinya suci, bersih, atau murni. Hal itu karena segi niat maupun tujuan tindakan dan ibadah kaum sufi. Ada yang berasal dari shaff, artinya baris, karena berada dibarisan pertama akibat besarnya keinginan mereka dan Dia. Kecenderungan hati mereka terhadap-Nya. Oleh sebab itu, bagi mereka kegiatan ibadah yang dilakukan tidak mengenal waktu, kapan pun dan dimana pun. Sisa hidup dimanfaatkan untuk selalu mengingat Allah.[6]
Sedangkan menurut Harun Nasution bahwa tasawuf berasal dari Ahl ash-shuffah, artinya mereka yang pernah ikut pindah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah.Namun, karena mereka kehilangan harta dan benda, mereka berada dalam keadaan miskin serta tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana yang digunakan mereka disebut sebagai shuffah. Meskipun dalam keadaan miskin, ash-shuffah berhati baik dan mulia. Sifat utamanya adalah tidak mementingkan keduniaan dan hidup miskin, tetapi berhati baik dan mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.[7]
Selanjutnya, Harun Nasution menambahkan bahwa kata Shuf berarti kain wol kasar, sebagai salah satu identitas sufi dalam meniti hidupnya. Kaum sufi tidak mengunakan kain wol halus dan sutra karena identik dengan orang-orang yang kaya dan hidup mewah. Dengan demikian, dirinya akan terjaga dan selalu berhati suci serta mulia.[8] Sekalipun demikian, tidak semua orang menggunakan wol kasar disebut sufi.[9]
Menurut Jalaluddin Rahmat, apabila terdapat perbedaan dalam definisi tasawuf, hal tersebut tidak berarti adanya kekacauan dan kontradiksi. Sufisme mempunyai konotasi berlainan, ambivalen, karena pada hakikatnya tasawuf adalah pengalaman individual, sebab dari sosio-kultur individu hidup dan tinggal yang memunculkan istilah-istilah, yang kemudian membawa konsekuensi bermacam-macam. Dimana makna sufisme, bergantung dari sudut pandang yang digunakan. Secara teknis, kita dapat mengatakan bahwa makna sufisme adalah fungsi ideologi orang yang memberikan makna kepada sufisme.[10]
Kemudian menurut beberapa ahli, definisi tasawuf secara terminologi adalah sebagai berikut:
a.       Ahmad Zarruq dari Maroko, mendefinisikan tasawuf sebagai pengetahuan yang dapat menata dan meluruskan hati serta membuatnya istimewa bagi Allah, mempergunakan pengetahuan tentang Islam, secara khusus tentang hukum yang kemudian mengaitkan pengetahuan tersebut guna meningkatkan kualitas perbuatan, serta memelihara diri dalam batasan-batasan hukum Islam dengan harapan muncul kearifan dalam dirinya.[11]
b.      Imam Al-Ghazali dalam ihya ‘Ulum ad-Din menyebutkan bahwa, Tasawuf adalah budi pekerti. Barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena mereka melakukan suluk dengan petunjuk Islam, orang-orang zuhud, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk imannya.[12]
c.       Al-Junaidi Al-Bagdadi, tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT dan mengikut syariat Rasulullah SAW.[13]
d.      K.H. Achmad Siddiq atau Kyai Achmad berpendapat bahwa tasawuf adalah pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang terpuji maupun tercela; kemudian bagaimana membersihkannya dari yang tercela itu dan menghiasinya dengan yang terpuji, bagaimana menempuh jalan kepada Allah dan berlari secepatnya menuju kepada Allah.[14]
Berdasarkan beberapa definisi tasawuf secara etimologi dan terminologi, penulis menyimpulkan bahwa definisi tasawuf adalah seseorang yang menyucikan diri dengan mengedepankan aspek esoteris ke eksoteris (mengamalkan) sebagai upaya mendapatkan pertalian dengan Allah SWT. Tasawuf sebagai penyucian rohani untuk pembersihan jasmani tanpa ada rasa khawatir akan segala masalah kekurangan yang dihadapinya.
   2.      HubunganTasawuf Dengan Islam
Tasawuf merupakan bagian dari kajian Islam yang tak terpisahkan dari kajian Islam lainnya, seperti halnya pada kajian tauhid dan fikih. Jika aksentuasi kajian tauhid terletak pada soal akidah, pengesaan Allah SWT dan berbagai hal pokok keagamaan dan kajian fikih menitikberatkan pada soal ijtihadi yang bersifat haliyah-amaliyah-furu’iyah, maka tasawuf kajiannya terletak pada soal-soal batini yang menyangkut hal-hal dzaugi, ruhani, dan sangat esoteris. Hal-hal inilah yang kemudian membawa pada diskursus bahwa inti ajaran tasawuf adalah untuk mencapai kehidupan batini dan ruhani (pertalian langsung dengan Allah).[15] Sehingga tasawuf harus tetap berjalan dengan dua aspeknya yang mendahuluinya, yaitu berlandaskan akidah (tauhid) dan syariat (fikih), begitu juga sebaliknya.[16]
Dengan demikian, seseorang akan disebut Muslim sejati ketika totalitas dalam ajaran Islam yakni sebagai Muwahhid (menjalankan tauhid),  faqih (menjalankan ketentuan fikih) dan sufis (berperilaku sufi). Dalam konteks kajian Islam, tasawuf dapat dilihat dari sudut pandang kajian keilmuan Islam lainnya, atau ilmu-ilmu lainnya yang bersinggungan langsung atau tidak langsung terhadap kajian tasawuf tersebut.

   B.     Modernisasi
Zaman yang terus berdialektika dengan menampilkan suatu pembaharuan dalam masyarakat, menjadi masyarakat modern yang sering digolongkan sebagai the post industrial society. Suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran hidup material yang sedemikian rupa, dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomat, sebagai suatu simbol masyarakat modern.[17]
Modernisasi yang akhir-akhir ini banyak menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat. Lebih-lebih menimbulkan kesan seolah-olah terdapat golongan yang menghalangi modernisasi, seakan-akan itu adalah umat Islam. Hal ini terjadi, karena semakin jelas dan gamblang banyak fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia diera modern. Dengan demikian, perlunya menempatkan atau mengetahui definisi modernisasi yang dinamis dan konstruktif dalam menjawab berbagai tuduhan bagi umat Islam.[18]

   1.      Definisi Modernisasi
Modernisasi, secara etimologi berasal dari kata “modern” yang dari bahasa latin “modo” yang artinya just now atau yang kini. Sedangkan sasi berarti proses.[19] Jadi Modernisasi secara sederhana adalah proses menuju masa kini. Secara terminology, modernisasi adalah proses untuk merombak cara-cara kehidupan lama untuk menuju bentuk atau model kehidupan yang baru. Sedangkan definisi modernisasi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut..
a.       Menurut Nurcholish Madjid, bahwa modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi, artinya proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (tidak rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal, ilmiah dan sesuai dengan hukum alam.[20]
b.      Menurut Poggi bahwa modernisasi membawa serangkaian keuntungan bagi umat manusia, khususnya fakta bahwa mereka mampu mengekspresikan berbagai potensi yang tidak terekspresi atau di sembunyikan dan tindas dalam masyarakat pramodern.[21]
c.       Menurut Antoni Giddens, sebagai suatu yang memasuki inti diri menjadi proyek relekfisf. Jadi, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah, bahkan dibentuk. Tidak hanya bahwa individu bertanggung jawab pada penciptaan dan pemeliharaan diri, namun tanggung jawab ini terus berlangsung dan meliputi semuanya. Diri adalah produk eksplorasi diri dan perkembangan relasi sosial yang intim.[22]
d.      Dr. Afan Gaffar menyatakan bahwa modernisasi adalah proses yang revolusioner yang dilaksanakan secara sistematik yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Didalam proses tersebut banyak sekali konsekuensi yang harus dihadapi bahkan dibayar dengan mahal sekali.[23]
e.       Menurut Eugene Staley bahwa Modernisasi berarti perubahan hubungan dalam masyarakat. Hal itu merupakan suatu keharusan bagi perubahan-perubahan sosial mendalam sebagai bagian dari modernisasi ekonomi. Namun, masalah demokratisnya ialah bagaimana mendapatkan sarana untuk merangsang dan mengarahkan perubahan-perubahan itu tanpa mengorbankan martabat manusia, hal yang menjadikan pembangunan menjadi sesuatu yang lebih baik.[24]
Berdasarkan beberapa definisi modernisasi diatas, penulis menyimpulkan.bahwa modernisasi adalah rasionalisasi dan revolusioner sebagai efisiensi dan efektivitas dalam memajukan kehidupan manusia yang humanitas dan tetap berelasi dengan hal-hal kepercayaan.
   2.      Pertumbuhan dan Perkembangan Modernisasi
Menurut Sayyidina Suryohadiprojo, mengenai asal usul lahirrnya modernisasi, berumula pada abad ke-16 sebagai lahirnya zaman modern yang dipelopori oleh bangsa Barat yang dinamakan Renaissanse atau kelahiran kembali hasil-hasil budaya Yunani dan Romawi yang telah dikembangkan Yunani kuno seperti Aristoteles, Plato dll. Pengungkapan kembali tersebut, terjadinya persentuhan antara Eropa Barat dengan budaya Islam yang pada abad pertengahan justru sedang berkembang dengan megah dan memasuki Eropa Barat melalui Spanyol. Humanisme dan Renaissanse sebagai sumber utama terbentuknya peradaban Barat modern.[25]
Persentuhan dengan Islam, dan pengungkapan pikiran Yunani dan Romawi, membuka pikiran Eropa Barat untuk memfungsikan ratio, yang pada saat itu gereja katolik yang berkuasa dieropa, menentang pemikiran dan melarang penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pelarangan  ini, menimbulkan banyak hukum yang dilakukan oleh gereja katolik seperti Nicolaus Copernicus, Hipatia, Desidarius Erasmus, dan lain-lain. Akan tetapi, gereja katolik tak mampu membendung perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa Barat hingga perkembangan tersebut memunculkan bidang ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, astronomi, kimia dan lain-lain.[26]
Pada abad ke-18, Eropa telah menjadi sentrum perkembangan ilmu pengetahuan dunia dan menggantikan peradaban Islam pada abad ke-16 sebagai masa surutnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dieropa membawa hasil yang sangat brilian yang menemukan bahwa bumi itu bulat, dapat menjelajahi dunia, menemukan sumber rempah-rempah, dan pulau Amerika yang kaya. Apalagi ketika ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya teknologi semakin maju yang mengubah dari produksi rumah ke produksi pabrik, dan dari perorangan ke produksi massal ketika terjadinya Revolusi Industry di Eropa Barat.[27]
Revolusi Industri Barat diawali oleh Perancis (1789) dan Inggris.[28] Revolusi yang terjadi pada abad ke-16 dan ke-17 dari  serangkaian perang melawan monarki, dimana Inggris menang atas monarki dengan memaksa menerima pembatasan konstitusional  dari kekuasaannya yang pada akhirnya menjadi landasan bagi demokrasi parlementer. Sedangkan untuk Perancis, mengalami kekalahan atas monarki hingga beberapa tahun kemudian terjadilah Revolusi Perancis.[29] Industrialisasi sebagai proses perkembangan teknologi oleh penggunaan ilmu pengetahuan terapan, ditandai dengan ekspansi produksi besar-besaran dengan menggunakan tenaga mesin untuk tujuan pasaran yang luas bagi barang produsen dan konsumen.[30]
Setelah Revolusi Industri di Inggris dan Perancis mengubah kehidupan di Eropa, Amerika Utara, dan beberapa belahan bumi.[31] Sebelumnya hanya berbasis pertanian sekitar tahun 8000 SM dan telah terus menerus mendominasi bumi sampai waktu pada tahun 1650-1750 M. Setelah itu, beralihlah ke zaman industrialisasi yang membangun pabrik baja, perusahaan otomobil, pabrik tekstil, rel kereta api, dan perusahaan pemroses makanan. Industrialisasi semakin memuncak selama dekade pasca Perang Dunia II, mendorong terjadinya berbagai konflik atas negara praindustrial atau berkembang dengan negara-negara industrial, baik kapitalis atau sosialis. Konflik tersebut, membawa sebuah dokrin gagasan hak individu dari Rosseauaian sebuah kontrak sosial, sekularisme, pemilihan pemimpin atas kehendak rakyat bukan hak ilahiah. Bagi setiap orang yang mengalami banyak perubahan, tampak terlihat semrawut. Akan tetapi.sebenarnya saling berkaitan menuju perkembangan yang disebut modernitas.[32]
Di Amerika Serikat memicu terjadinya Perang Saudara demi kepentingan industri perdagangan Utara. Beberapa tahun kemudian, revolusi Meiji Pecah di Jepang dan kaum modernis menang melawan tradisional.[33] Menurut pendapat Robert N. Bellah, bahwa modernisasi yang terjadi di Jepang karena agama Tokugawa.[34]
Pemenuhan sumber bahan mentah dan mencari pengaruh atas setiap Negara yakni Kapitalisme dan Komunisme, maka terbentuklah Blok Barat dan Blok Timur dimana Blok Barat promotornya adalah Amerika Serikat (Kapitalisme) sedangkan Blok Timur adalah Uni Soviet (Komunisme).
Peperangan diakhiri dengan perjanjian perdamaian, namun sangat mencolok bahwa Uni Soviet mengalami kekalahan oleh Amerika Serikat atau kemenangan Kapitalisme dalam hegemoni dunia. Akan tetapi, terdapat hambatan karena bangsa yang tadinya terjajah, kini bangkit seperti Jepang dan Jerman yang melejit menjadi negara modern, dimana menurut Alexander Gerschenkron bahwa Jepang dan Jerman melakukan segala hal yang berbeda dengan Inggris dan Amerika Serikat, yang mana Jepang dan Jerman lebih aktif dalam promosi pembangunan. Jepang hadir sebagai Negara yang menentang penjajah barat, namun lahir sebagai Negara yang ikut dalam sistem penjajah tersebut yaitu Kapitalisme industri dan teknologi yang dapat menandingi dan mengalahkan Amerika Serikat,  dan masih banyak lagi Negara-negara yang dapat bersaing dengan Amerika, Eropa seperti Cina. Begitu juga dengan runtuhnya Uni Soveit menjadi Rusia yang notabene  sebagai negara komunis ikut dalam sistem liberal yaitu perdagangan dunia.
Dengan demikian, pengaruh-pengaruh ideologi Kapitalisme, Liberalisme dan Imperialisme modern lebih menancapkan akarnya tidak hanya pada negara pendiri Kapitalisme, melainkan telah mewabah ke negara-negara yang menentang Kapitalisme itu sendiri hingga sampai sekarang ini, Kapitalisme tidak hanya diadopsi suatu negara melainkan telah diadopsi oleh manusia walaupun secara tidak langsung mengakuinya tapi perwatakan demikian adanya.
   3.      Problematika Manusia Modern
Situasi manusia di zaman modern justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia hancurkan martabat manusia. Umat manusia berhasil mengorganisasikan ekonomi, struktur politik, pembangunan peradaban maju sejak potensi rasionalnya. Kebudayaan Barat pada zaman Renaissanse, berakar dari mitologi Yunani yang terkungkung, seolah-olah Tuhan membelenggu manusia. Sehingga renaissanse hadir membebaskan manusia dan sebagai revolusi paham keagamaan, bahwa manusia pada dasarnya merdeka dengan dasar revolusi Ilmu pengetahuan. Namun, membawa masalah karena menyebabkan agnotisisme terhadap agama dan menimbulkan sekularisme.[35]
Filsafat barat yang menekankan pendapat, bahwa hanya individulah yang sangat dibutuhkan bukan orang lain karena itu, setiap orang harus dibebaskan untuk mencipta dan berusaha menurut individunya. Sistem pemikiran sosial-politik dan kehidupan ekonomi, melahirkan ideologi ekonomi kapitalisme yang mengejar keuntungan besar pada alat-alat produksinya yang dilengkapi dengan kelembagaan dan hukum kontrak sebagai ikatan kuat kapitalisme. Semakin lama, pertumbuhan sistem kapitalisme menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang luas, khususnya kapitalisme industri.[36]
Industri meluaskan kaum pekerja di semua negara-negara Industri yang perkembangannya merusak lembaga-lembaga sosial didaerah pedesaan, tempat pekerja berasal. Mulailah jejak besar kapitalisme.[37]
Dalam dua dekade setelah Perang Dunia ke-2, kapitalisme, disamping memperlihatkan kekuasaan yang tetap, dinamis dan mekanisasi kerja manusia. Alat-alat produksi baru yang dihasilkan oleh teknologi modern dengan proses mekanisasi, otomisasi dan standarisasinya, ternyata menyebabkan manusia cenderung menjadi elemen yang mati atau teralienasi dari proses produksi. Teknologi modern sesungguhnya bertujuan pembebasan manusia ternyata menjadi alat perbudakan baru.[38]
Pemenuhan produksi atas tenaga buruh, dimana menurut Marx yang pertama, pekerja buruh atau tenaga buruh teralienasi dari aktivitas produksinya dan tidak memainkan peran sedikit pun untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan. Kedua, pekerja teralienasi dari produk hasil aktivitas mereka karena tidak memiliki kontrol terhadap yang dibuat dan akan jadi apa barang-barang itu. Ketiga, pekerja teralienasi dari manusia yang lain karena dengan kompetisi dan penyeragamaan telah menjauhkan mereka dari kerja sama. Keempat, mereka teralienasi dari potensi diri beranekaragam yang tersimpan dalam kediriannya sebagai manusia.[39]
Hubungan yang mengakibatkan menurunnya karekteristik individu, kelemahan secara fisik, kebingungan mental, kehilangan arah, terisolasi, dan pembusukan daya kekuatan sebagai makhluk sosial. Pemisahan buruh dengan hasil kerjanya mengakibatkan keterikatan dengan orang lain (kapitalis), menjadi hidup dan mati ditentukan oleh orang lain akhirnya kehilangan kontrol dan pengetahuan mengenai dunia luar.[40]
Perkembangan teknologi membuat manusia menjadi Free enterprises sebagai suatu kebebasan anggota masyarakat dalam lingkungannya yang meletakkan dasar ideology kapitalisme sebagai kekuatan transformasi struktur sosial-budaya, politik dan ekonomi pada seluruh dunia. Gejala yang disebut Galtung sebagai dominance system dalam konteks internasional, disebut imperialisme. Dominasi hubungan enterprises dan teknologi sebagai penyuburan kapitalisme, dan sekularisme.[41]
Revolusi di Perancis yang dipelopori dari gerakan sosial dengan semboyannya Liberte, Egalite, Fraternita atau Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan. Ternyata permulaan liberalisme atau bahasa Perancis dikatakan Laissez faire, laissez passer.yang juga mengacu kepada individualisme dan kapitalisme dari kebebasan tanpa batasan.[42]
Menurut Nurcholis Madjid, bahwa Sekularisme sebagai dampak dari rasionalisme merupakan puncak lahirnya Ateisme sebagai sumber imoralitas. Cabang dari sekularisme adalah liberalisme sebagai kebebasan seperti di Perancis, Inggris dan Amerika yang membuat kesewenang-wenangan. Liberalisme mengakibatkan individualisme, dan individualism mengakibatkan kapitalisme dari prinsip kemerdekaan dinodai yang hanya berupa simbol belaka.[43]
Individualistik Amerika Serikat yang menganggap sebagai manusia tipe Ideal adalah berdiri sekelompok individu yang teratomisasi secara total yang berintegrasi satu sama lain di luar perhitungan rasional tentang swa- kepentingan dan tidak memiliki ikatan atau tanggung jawab terhadap manusia-manusia lain kecuali orang yang berada di luar perhitungan ini. Walaupun eksis sebagai milyuner yang kesepian tanpa pasangan atau anak-anak, atau orang tua yang tinggal sendirian pada masa pensiun atau tunawisma tempat penampungan.[44]
Begitupula dengan negara-negara yang berpaham komunisme seperti Rusia, Cina dan lain-lain, Komunisme adalah bentuk lebih tinggi daripada sekularisme dan menjadi atheis sempurna.[45]Sebagaimana menurut Huston Smith, pengingkaran adanya alam gaib, khususnya Tuhan, adalah permulaan meluncurnya seseorang atau masyarakat ke amoralisme atau immoralisme. Sebab, kembali kepada Bung Hatta, hanya kepercayaan kepada Tuhan-lah yang akan memberi kedalaman rasa tanggung jawab dan moralitas tindak-tanduk manusia di dunia ini.[46] Paham prinsip egalitarian yang hanya simbol belaka dan dinodai dengan supremasi multak penguasa atas pihak yang dikuasai. Maka diktator proletar pada hakikatnya ialah diktator pemimpin dan penguasa-penguasa.[47]
Kapitalisme dan komunisme itu tidak benar, karena banyak pergeseran di dalam keduanya. Sebab, manusia tidak mungkin bisa bertahan sepenuhnya dalam suatu prinsip dan dalam ajaran yang kebenarannya tidak mutlak. Sebaliknya kapitalisme semakin menunjukkan gejala sosialistis, sedangkan komunis semakin menjadi liberalistis.[48]
Dengan demikian, Industrialisasi sebagai modernisasi yang terjadi di negara di beberapa negara yang dipaparkan diatas melahirkan dan mencerminkan individualistik berefek terhadap interaksi dengan lingkungan antara sesama manusia yang mengalami alienasi dengan manusia yang lain. Begitu pula ketika industrialisasi yang perlu ditunjang dengan bahan mentah sebagaimana paparan diatas hingga penggunaan akan sumber daya alam terlampau batas sebagai pemenuhan Industrialisasi. Berdampak pada keseimbangan alam yang tak lagi terharmonisasi, sebagai upaya hanya untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam doktrinal kapitalisme. Kebebasan yang terjadi pada individu dan lebih mengedepankan rasio membuat manusia lebih cenderung keberpihakannya, hingga timbul sekularisme sebagai pemisahan dan tak mempergunakan masalah-masalah keagamaan atau tak mempergunakan lagi agama sebagai pembanding dalam berpikir dan bertindak yang berefek terhadap alienasi manusia dengan dirinya dan juga kepada masalah kepercayaan.

   C.    Tasawuf Jawaban Era Modernisasi atas Keterkungkungan Manusia
Para pelaku tasawuf atau sufi, selama ini diidentikkan dengan kehidupan statis, tradisional, hidup menyendiri, cuek dengan hingar-bingarnya dunia, cuek dengan perubahan, dan berbagai labelitas kejumudan lainnya, anggapan tersebut kiranya perlu ditinjau kembali dengan melihat aspek ajaran sufisme walaupun secara normatif ideologis tampak statis, tetapi di balik kestatisannya telah menyimpan kedinamisan yang luar biasa sehingga dalam sejarahnya yang panjang diketahui sedikit gerakan sufisme melalui tarekat. Misalnya penjelmaan sebagai suatu gerakan kekuatan yang melawan dan memotivasi sebagian umat berjuang melawan dan mengusir penjajah, tetapi juga memobilisasi massa dalam skala besar demi tegaknya supremasi hukum, sosial, kultur, politik, bahkan juga ekonomi.[49]
Gerakan kaum sufi yang tergabung dalam kelompok tarekat, banyak membantu terwujudnya cita-cita pembebasan dari kungkungan imperialisme, liberalisme, kapitalisme, komunisme dan sekularisme. Sebagaimana menurut Imam Sutrisno, bahwa kaum sufi yang merupakan elite dan kaum terdepan, roda penggerak utama Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan Islam umumnya. Kaum sufi dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Perancis, dan pembangunan kembali masyarakat pemerintahan Islam di Libya. Nigeria Utara yang berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Begitu pula fenomena di Timur, kaum sufi Naqsabandiyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.[50]
Kaum sufi dalam keprihatinan sosial dengan pembentukan kelompok sosial yang banyak pengikut bagian dunia karena selama abad ke-19 yang memainkan peran penting dalam stabilitas masyarakat. Pada abad ke-20, perubahan pergerakan kaum sufi sangat cepat dan radikal atas penjajahan Barat dari negeri muslim hampir menjelang akhir Perang Dunia Pertama. Kedatangan sufi di Eropa dan Amerika Utara. Revolusi Iran membangkitkan tradisi Islam. Imam Ali yang kebanyakan mengurusi peperangan selama bertahun-tahun memimpin umat Islam.[51]
   1.      Nilai-Nilai Tasawuf: Menjawab Alienasi
Berangkat dari peristiwa diatas yang dilakukan oleh para sufi atau pengamal tasawuf memang hadir sebagai respond dan protes atas kejahatan jiwa, sosial, kultur politik dan masalah keagamaan. Ajaran yang mengedepankan kesalehan individualistik dan juga kesalehan sosial sebagai peristiwa perjuangan sufi yang mampu merekonstruksi, memotivasi, dan memobilisasi massa dalam melawan penindasan, karena ajaran atau nilai-nilai terkandung dalam tasawuf mengedepankan kematangan jiwa.
Ajaran atau nilai-nilai tasawuf wajib kita ketahui sebagai filteralisasi dan kolaborasi dalam arus modernisasi yang terkhusus pada alienasi manusia dengan dirinya, kondisi sosial, Alam, dan masalah kepercayaan yang dalam hal ini terbagi 3 tahap yaitu rekonstrusi tahap moral, etika psikologi, dan metafisik.[52]
a.       Rekonstruksi Tahap Moral
Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu sebagaimana problem manusia modern yang secara berurutan terdiri atas 5 tahap. Mulai dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika-individual ke politik sosial, dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka, dan terakhir dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik.[53]
Pada tahab dari jiwa ke tubuh, tasawuf bereaksi secara positif dan kembali kepada pensucian jiwa dengan latihan-latihan spiritual, perbaikan moral, penyembuhan penyakit-penyakit hati dan sebagainya. Sekarang tubuh tidak kurang parahnya dibanding jiwa: penyakit-penyakit pada organ, kelaparan, kekurangan gizi, kurangnya sandang dan papan yang layak. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh.[54]
Kemudian dari tahap rohani ke jasmini.Rohani ke jasmani, tasawuf membuka suatu dunia ruhani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material, maka segala hal dibawa ruhani, teks, bahasa, fenomena, kebenaran dan sebagainya. Segala hal memiliki makna ganda karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial dan politik merampas lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah, suatu hal yang sama dengan jargon politik modern.[55]
Tahap rekonstruksi moral yang selanjutnya adalah dari etika individual ke politik sosial. Salah satu alasan utama bagi kelahiran lama adalah rusaknya individu bahkan dengan memberikan fenomena sosial penafsiran individual, maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu dan menciptakan suatu kode etika baru sebagai upaya mensucikan hati dari cinta kekayaan dan harta benda di dunia atau materialistis, sebagaimana dalam ihya membahas muhlikat yang tercela (dzamm) dari keburukan individu seperti marah, benci, iri, kikir, tamak, munafik, angkuh, dan sombong.[56]
Tahap dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh kekhusyukan untuk mengungkap rasa cemas, penderitaan dan harapan mereka. Berfikir dalam situasi sekarang, meratapi hilangnya kesalehan pada generasi permulaan dan mempercepat datangnya kejayaan dan keselamatan masa datang, meskipun ada pentingnya berfikir dan berpendapat secara individual, namun tindakan terbuka diperlukan untuk perubahan.Paritisipasi rakyat dalam pembangunan sosial amat penting dengan pembangunan spiritual sebagai komplemter.[57]
Tahap yang terakhir adalah dari organisasi Sufi ke gerakan sosio-politik. Sebagai jalan dalam memperoleh kekuatan membendung penyimpangan yang diduduki oleh kekuatan besar, maka membangun kepercayaan masyarakat didahulukan dalam berangkat ke organisasi sosial sebagai langkah terbuka membendung penyimpangan-penyimpangan yang ada, seperti yang pernah dilakukan oleh Sanusiyah di Libia, Mahdiyah di Sudan dan sebagainya.[58]
b.      Rekonstruksi Tahap Etika Psikologi
Tasawuf dalam etika psikologi maju dari moralitas praktis ke psikologi individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan tindakan lahir perilaku atau anggota-anggota tubuh melainkan tindakan batin kesalehan, tindakan hati, atau rahasia-rahasia hati. Ilmu yang terdiri dari dua langkah yaitu langkah moral (maqamat) dan kondisi psikologis (ahwal).[59]
Dari nilai pasif ke nilai aktif merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan penunjang menghadapi musuh yang memegang kendali dan mengandalkan kebaikan yang tertunda. Langkah-langkahnya adalah taubat, sabar, syukur, miskin, zuhud, tawakkal, ridla, shamt, ‘ubudiyah, taslim, mahabbah dan syauq. Keseluruhan sebagai nilai pasif  akan tetapi juga merupakan nilai aktif sebagai langkah permulaan yang perlu ditransformasikan dari tingkat individual ke tingkat sosial seperti niat, ikhlas, kebenaran, mengawasi diri, dan disiplin diri sebagai mekanisme defensif menghadapi nafsu besar duniawi seperti kekayaan dan angkara murka.[60]
Dari kondisi-kondisi psikologis ke perjuangan sosial merupakan kondisi sebagai tanda jalan, sebagai sinar atau cahaya yang secara serentak berwarna merah dan hijau untuk berhenti atau terus menyempurnakan langkah sebelumnya atau menerobos langkah berikutnya. Itulah sebabnya keadaan psikologis selalu berpasangan menurut dialektika antara peniadaan dan penegasan yang bertujuan membumikan keadaan psikologis dan mentransformasikan ke tindakan atau gerakan sosial. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an manusia dalam masyarakat dan di dunia, bukan hubungan manusia dengan tuhan.[61]
c.       Rekonstruksi Tahap Metafisik
Tahap terakhir merupakan buah yang harus dikumpulkan dan direkonstruksi agar perkembangan tersebut tercapai dibumi. Tahap metafisik terbagi 4 yaitu vertikal ke horizontal, langkah moral ke priode sejarah, dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal penyatuan nyata.[62]
Dari vertikal ke horizontal merupakan tindakan mentransformasikan yang bersifat konklusif dan produktif karena telah melewati tahap moral, tahap etika dan yang tertinggi tahap metafisik sebagai gerakan pembumian. Pada saat bersamaan Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi.[63]
Dari langkah moral ke periode sejarah merupakan tahap periodik dijalan pengawasan sebagai periode sejarah yang progresif. Maka keharusan melakukan mobilitas, perubahan kemajuan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Tujuan dalam hal ini adalah perencanaan yang akurat dan dapat dicapai sebagai suatu periode sejarah.[64]
Dari dunia lain ke dunia ini merupakan pengasingan diri dari hubungan sosial sebagai upaya perbaikan kesalehan diri dan kembali menata  hubungan sosial yang jauh dari kesalehan.[65]
Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata merupakan pengungkapan kesatuan antara Tuhan dan Dunia, kebenaran dan realitas, Tuhan dan alam serta sebagainya. Tujuan akhirnya adalah menerobos rintangan-rintangan artifisial yang dihadapi.[66]
Berbagai hal yang dilakukan oleh tasawuf, diberi makna bahwa menghendaki demikian reaksi terhadap sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi. Pergerakan tasawuf berangkat dari gerakan zuhud berdasarkan acuan normatif Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai proses spritualisasi ketuhanannya dan mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Zuhud merupakan sebagai benteng membangun diri dari dalam diri sendiri sebagai jawaban alienasi diri terhadap gemerlap materi. Seperti yang telah dipaparkan diatas dengan sikap inti nilai-nilai tasawuf yaitu qana’ah, tawakkal, wara’ dan syukur. Sebagai benteng diri dan menjalankan fungsi seorang muslim hidup didunia dengan amanah hamba dan khalifah, sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur dan meramaikan dunia.[67]
Hasil yang dicapai seseorang ketika mengaktualisasikan nilai-nilai tasawuf disebut dengan tajalli yang mengetahui batil dan mana hak, sebagai kristalisasi nilai religi moral dalam diri manusia dan merefleksikan dalam setiap gerak dan aktivitasnya sebagai tranformasi diri menjadi insan kamil dengan mencapai tuma’ninah al-qaib, dan raja’. Hal inilah yang menjadi proteksi diri dan , sehingga dapat menguasai diri dan menyesuaikan diri ditengah deru modernisasi dan industrialisasi sebagai jawan krisis moral manusia, krisis sosial manusia dan krisis kepercayaan manusia.[68]
   2.      Tasawuf dan Indonesia
Di Indonesia dalam beberapa dekade, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan keagamaan terlihat jelas mulai dari penjualan buku-buku terlaris, penyiaran dakwah diberbagai stasiun televisi, serta munculnya seniman dan penyair sufistik.
Sejarah panjang Indonesia dalam kemerdekaannya tak terlepas dari peran sufisme dengan pengislaman Nusantara dan berbagai perlawanan terhadap kolonialis yang dilakukan oleh para Wali Songo. Sebagaimana menurut A. Mukti Ali, keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah jasa tarekat dan tasawuf.Pada abad ke-17  hingga abad  ke-20, sufi (tasawuf) semakin menampakkan tajinya dalam partisipasi membela kepentingan rakyat dengan berbagai penyadaran, dan menggalang kekuatan melawan kolonial serta kemerdekaan Indonesia  yang juga ikut berperan penting dalam dinamika sosial politik Indonesia. [69]
Dengan demikian, Neo-sufisme sebagai jalan dalam menghadapi sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya yang jauh dari fitrah manusia dan falsafah Negara Indonesia yaitu Pancasila. Tasawuf dapat menjadi polarisasi pengemblengan manusia sebagaimana ajaran tasawuf yang menitik beratkan pada penyucian hati, jiwa dan pengamalan kesalehan atau kebenaran. Agar bangsa Indonesia dapat mempertahankan jati dirinya yang tak hanya berupa simbolis belaka, namun telah terpatrih dalam diri, masyarakat dan hal-hal keagamaan sebagai filteralisasi bangsa Indonesia terhadap arus tekonlogi informasi dan komunikasi.
   3.      Hubungan HMI dan Tasawuf
Begitupula pada masa sekarang ini, perjuangan para sufi semakin terlihat dari  regenerasi para neo-sufisme dengan berbaur pada teknologi komunikasi dan informasi sebagai era modernisasi. Dari semangat dan motivasi neo-sufisme terbentuklah berbagai organisasi-organisasi yang ditujukan untuk memerdekaan dan mempertahankan Indonesia salah satunya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Himpunan Mahasiswa Islam merupakan organisasi yang hadir dari kesadaran diri akan kultur sosio-politik Indonesia. Organisasi yang sifatnya perjuangan dan pengkaderan, telah termaktub jelas sebagai penggemlengan manusia yang siap terhadap zaman sebagaimana dokrin HMI yaitu NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
HMI yang berdiri pada tanggal 5 Februari 1947 sebagai revolusi kemerdekaan Indonesia dan kisah heroik seorang mahasiswa yang bernama Lafran Pane. Dari kegelisahannya akan kondisi umat, kebangsaan, dan kemahasiswaan yang dapat menenggelamkan Indonesia ke kegelapan atas westernisasi, dan imperialisme modern.[70] Maka dari itu, Lafrane Pane dan ke-14 kawannya, berusaha membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia yang diawali dengan pembentukan organisasi Islam.[71] Walaupun beridentitas Islam, namun HMI dalam pergerakannya tidak hanya semata-mata untuk orang yang beragama Islam, akan tetapi untuk seluruh bangsa dan Negara Indonesia yang memposisikan diri sebagai penengah dan pembaharu sebagaimana termaktub dalam Independensi HMI.[72]
Himpunan Mahasiswa Islam  merupakan organisasi perkaderan dan perjuangan yang sampai saat ini, kader HMI tersebar ke berbagai daerah dan menduduki lembaga-lembaga Negara. Hal ini merupakan kewajaran bagi seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam karena dalam Tujuan HMI yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Tujuan tersebut, pada intinya memberikan arah bagi setiap kader sebagai Man of future’, Man of innovator, dan ‘Idea of progress. Dari hal inilah, kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam  menjadi manusia yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertakwa, serta zuhud dan tawadlu kepada Allah SWT. [73]
Penggemlengan kader melalui dokrin-dokrin HMI yaitu NDP sebagaimana dipaparkan diatas terdiri dari 7 buah yaitu Dasar-Dasar Kepercayaan, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Kemanusian, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) Dan Keharusan Universal (Taqdir), Ketuhanan Yang Maha Esa Dan Perikemanusiaan, Individu Dan Masyarakat, Keadilan Sosial Dan Keadilan Ekonomi, dan Kemanusiaan Dan Ilmu Pengetahuan. Hal inilah yang menjadi pandangan keislaman HMI, sebagai penerjemahan Islam Rahmatan Lil Alamin sebagai corak dan karakter setiap kader Himpunan Mahasiswa islam (HMI) yang menonjolkan sikap moderat, damai, dialogis, toleran, ditengah kehidupan Indonesia dan warga dunia yang plural sebagia pembentuk manusia Insan kamil. [74]
Dengan demikian, seluruh kader HMI diwajibkan menjawab tantangan modernisasi sebagaimana Tujuan, Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI dan Pembukaan UUD 1945, dengan IMAN, ILMU dan AMAL yang merupakan nilai-nilai tasawuf yang sama-sama mengedepankan ketauhidan, dan harmonisasi terhadap ilmu yang diaktualisasikan dengan Amal.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf memegang peran, baik sebagai gerakan spiritual-keagamaan yang membawa pesan moral individual dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan-bahkan menyatu dengan-Nya; maupun sebagai fungsi sosial dalam rangka membentuk kesalehan sosial untuk selalu peka dan peduli dengan kondisi sosial. Menghayati dan mengamalkan dokrin-dokrin yang diajarkan oleh sufisme, manusia dapat membangun dinamisitas kehidupan dan survive ditengah hingar-bingarnya dunia modern.
Tasawuf tidaklah menghambat modernisasi, akan tetapi tasawuf sejalan dengan modernisasi yang sebenarnya atau rasional yang tetap menyeimbangkan urusan duniawi dan urusan ilahi. Agar manusia tahu dengan dirinya, manusia tahu bagaimana sebenarnya hubungan dengan kondisi sosial dan bagaimana sebenarnya hubungan manusia dengan Tuhannya untuk harmonisasi dalam kehidupan modern seperti saat ini.
Berbagai kekeliuran manusia, tasawuf hadir menjawab segala problem manusia dengan gerakan individualnya dan berkancah dalam gerakan keorganisasian dan perpolitikan, yang bertujuan mengembalikan bagaimana sebenarnya organisasi dapat menggembleng manusia agar mampu menjawab dan sejalan dengan dunia modern dan begitu pula dengan perpolitikan, bagaimana tasawuf sebagai pencipta politikus dan pemimpin yang semata-mata mementingkan urusan rakyat.
Salah satu buah pikiran gerakan tasawuf dalam keorganisasian, terbukti terpancarkan dalam nilai-nilai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang menyeimbangkan urusan dunia dan urusan ilahi, hamblum minannas, dan hamblum minallah, sebagai pencipta manusia Insan Kamil, menjadi pembaharu dan pencipta peradaban diera modernisasi saat ini.

B.     Saran
Menerapkan ajaran tasawuf mesti dilihat dan ditempatkan pada posisi yang wajar dan proporsional sebagai kontinuitas dari domain-domain ajaran Islam lainnya seperti tauhid dan syariat (fikih), sehingga dalam penerapannyapun jangan terjadi ketimbangan atau berat sebelah. Sebab, pengabaian salah satu diantara ketiga domain dapat menyebabkan stagnasi dalam praktek keberagaman selanjutnya, yang berakibat klain-klain eksklusif.
Dengan demikian, seseorang akan disebut Muslim sejati ketika totalitas dalam ajaran Islam yakni sebagai Muwahhid (menjalankan tauhid),  faqih (menjalankan ketentuan fikih) dan sufis (berperilaku sufi). Dalam konteks kajian Islam.

SAMPUL


 MAKALAH
INTERMEDIATE TRAINING LATIHAN KADER II
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG JAKARTA PUSAT-UTARA


“KONTEKSTUALISASI NILAI-NILAI TASAWUF
DI ERA MODERNISASI”





HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM CABANG GOWA RAYA
KOMISARIAT AHMAD DAHLAN
2016


DAFTAR PUSTAKA


Ali, Fachri. Islam, Keprihatinan Universal dan Politik di Indonesia. Jakarta Barat: Pustaka   Antar Kota, 1984.

Alvin dan Toffler, Heidi.Menciptakan Peradaban Baru: politik gelombang ketiga. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

Dyaja, Ashad Kusuma. Teori-Teori Modernias dan Globalisasi.Bantul: Kreasi Wajacana, 2012.

Fukuyama, Francis. Trust: kebajikan sosial dan penciptaan kemakmuran. II. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2010.

Hanafi, Hassan. Agama, Ideologi dan Pembangunan. Jakarta: P3M, 1991.

Ibn Khaldun. Mukkadimah: sebuah karya mega-fenomenal dari cendekiawan muslim abad  pertengahan. IV. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014.

Karl Marx dan Friedrick Engels.Manifesto Partai Komunis. Makassar:  Titik Api, 2014.

Kuntowijoyo.Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi.III. Bandung: Mizan, 1991.

Maarif, Ahmad Syafii dan Tuhuleley, Said. Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas.Yogyakarta:Sippres, 1990.

Majid, Nurcholish. Islam Dokrin dan Peradaban: sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan. II. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.

Mutthari, Murthada. Manusia dan Alam Semesta.Jakarta: Lentera, 2002.

Ni’am, Syamsun. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. I. Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2014.

Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif: ceramah-ceramah dikampus. I. Bandung: Mizan, 1991.

Rifa'i, A Bachrun dan Mud'is, H Hasan.Filsafat Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010.

Saidi, Ridwan. Biografi, Pemikiran dan Perjuangan A. Dahlan Ranuwirahardjo.Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1995.

Solichin.HMI Candradimuka Mahasiswa.Jakarta Pusat: Sinergi Persadatama Foundation, 2010.

Suryohadiprojo, Sayidiman. Makna Moderitas dan Tantangan Terhadap Iman. Dalam Nurcholish Madjid. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Suryohadiprojo, Sayidiman. Makna Modernitas Dan Tantangan Terhadap Iman. [ed.] Budhy Rachman Munawar. Kontekstualisasi Dokrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta Selatan : Yayasan Paramadina, 1994.

Syari’ati, Ali. Sosialisme Islam. II. Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013.

[1]         Maarif, Ahmad Syafii dan Tuhuleley, Said. Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas.Yogyakarta: Sippres, 1990. hlm.
[2]    Perasaan seorang sufi beda dengan perasaan seseorang yang berpikiran liberal. Perasaan seorang sufi tidak merepresentasikan kesadaran akan derita batin yang dirasakan orang sebagai kebtuhan alamiahnya. Orang yang liberal pikirannya pertama-tama menyadari derita yang terjadi diluar, baru kemudian merasakan deritanya sendiri. Dipihak lain, derita sufi merupakan kesadaran batin akan kebutuhan spiritual, persis sebagaimana derita jasmani merupakan peringatan tentang adanya kebutuhan jasmani. Mutthari, Murthada. Manusia dan Alam Semesta.Jakarta: Lentera, 2002.hlm.260
[3]Ibn Khaldun. Mukkadimah: sebuah karya mega-fenomenal dari cendekiawan muslim abad pertengahan. IV. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014. hlm. 865.
[4]Majid, Nurcholish.Islam Dokrin dan Peradaban: sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan. II. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. hlm. 262-263.
[5]Rifa'i, A Bachrun dan Mud'is, H Hasan.Filsafat Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010. hlm. 24.

[6]Ibid.,
[7]Ibid.,hlm. 25-26
[8]Ibid., hlm. 26
[9]Ibn Khaldun. Mukkadimah: sebuah karya mega-fenomenal dari cendekiawan muslim abad pertengahan. IV. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014. hlm. 865.
[10]Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif: ceramah-ceramah dikampus. I. Bandung: Mizan, 1991. hlm. 91.
[11]Ni’am, Syamsun. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. I. Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2014. hlm. 28-29.
[12]Rifa'i, A Bachrun dan Mud'is, H Hasan.Filsafat Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010. hlm.  27

[13]Ibid., hlm. 30
[14]Ni’am, Syamsun, op. cit., hlm.31.
[15]Ibid.,hlm. 13.
[16]Ibid.,hlm. 14.
[17]Ibid.,hlm. 204.
[18]     Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. II. Bandung: Mizan, 2013. hlm. 207-208.
[19]Maarif, Ahmad Syafii dan Tuhuleley, Said. Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas.Yogyakarta: Sippres, 1990. hlm. 107.
[20]      Madjid, Nurcholish, op. cit., hlm. 208.
[21]    Dyaja, Ashad Kusuma. Teori-Teori Modernias dan Globalisasi.Bantul: Kreasi Wajacana, 2012. hlm.
[22]Ibid.,hlm.
[23]Maarif, Ahmad Syafii dan Tuhuleley, Said. Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas.Yogyakarta: Sippres, 1990. hlm. 111.
[24]Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. II. Bandung: Mizan, 2013. hlm. 121.
[25]  Suryohadiprojo, Sayidiman. Makna Moderitas dan Tantangan Terhadap Iman. Dalam Nurcholish Madjid. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. hlm. 146-147.
[26]Ibid.,hlm. 147-148.
[27]Suryohadiprojo, Sayidiman. Makna Modernitas Dan Tantangan Terhadap Iman. [ed.] Budhy Rachman Munawar. Kontekstualisasi Dokrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta Selatan : Yayasan Paramadina, 1994, hlm. 555.
[28]     Syari’ati, Ali. Sosialisme Islam.II. Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013. hlm. 7.
[29]      Fukuyama, Francis. Trust: kebajikan sosial dan penciptaan kemakmuran. II. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2010. hlm. 57.
[30]      Madjid, Nurcholish. Islam kemoderenan dan keindonesiaan.II. Bandung: Mizan, 2013. hlm. 169.
[31]Karl Marx dan Friedrick Engels.Manifesto Partai Komunis. Makassar:  Titik Api, 2014. Hlm. 9
[32]Alvin dan Toffler, Heidi.Menciptakan Peradaban Baru: politik gelombang ketiga. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. hlm. 6-15.
[33]Ibid.,hlm. 16-17.
[34]Robert N Bellah dalam bukunya yang berasal dari tesis Ph.D-nya, Bellah mengemukakan adanya hubungan dinamis antara agama Tokugawa dan kebangkitan ekonomi Jepang modern.Baginya etika ekonomi jepang modern bersumber dari etika kelas samurai yang merupakan tulang punggung pembaharuan Meiji (1868-1911), dan etika samurai itu sendiri berakar dalam ajaran-ajaran Tokugawa.Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan.hlm. 174.
[35]Kuntowijoyo.Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi.III. Bandung: Mizan, 1991. hlm. 159-160.
[36]   Ali, Fachri. Islam, Keprihatinan Universal dan Politik di Indonesia. Jakarta Barat: Pustaka   Antar Kota, 1984. hlm. 42-43.
[37]Ibid.,hlm. 43. 
[38]Ibid.,
[39]      Syari’ati, Ali. Sosialisme Islam. II. Yogyakarta: RaunsyanFikir Institute, 2013. hlm. 75-76.
[40]Ibid.,hlm. 76.
[41]      Ali, Fachry, op.cit.,hlm. 44.
[42]Suryohadiprojo, Sayidiman. Makna Modernitas Dan Tantangan Terhadap Iman. [ed.] Budhy Rachman Munawar. Kontekstualisasi Dokrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta Selatan : Yayasan Paramadina, 1994, hlm. 555.
[43]Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.II. Bandung: MIzan,  2013. hlm. 227-228
[44]Fukuyama, Francis. Trust: kebajikan sosial dan penciptaan kemakmuran. II. Yogyakarta: Qalam, 2010. hlm. 410.
[45]     Madjid, Nurcholish, op.cit.,hlm. 229.
[46]Ibid.,hlm. 136.
[47]Ibid.,hlm. 229.
[48]Ibid.,hlm. 229-230.
[49]       Ni’am, Syamsun. Tasawuf Studies: pengantar  belajar tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.  hlm.203.
[50]Rifa'i, A Bachrun dan Mud'is, H Hasan.Filsafat Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010. hlm. 299-300.

[51]Ibid.,hlm. 300-301.
[52]       Hanafi, Hassan. Agama, Ideologi dan Pembangunan.I. Jakarta: P3M, 1991. hlm. 75-76.
[53]Ibid.,hlm. 76.
[54]Ibid.,
[55]Ibid.,hlm. 77.
[56]Ibid.,
[57]Ibid.,hlm. 78.
[58]Ibid.,hlm. 78-79.
[59]Ibid.,hlm. 79
[60]Ibid.,hlm. 79-87.
[61]Ibid.,hlm. 87-97.
[62]Ibid.,hlm. 97.
[63]Ibid.,hlm.  97-98.
[64]Ibid.,hlm. 98.
[65]Ibid.,hlm. 98-99.
[66]Ibid.,hlm. 100.
[67]Rifa'i, A Bachrun dan Mud'is, H Hasan, op.cit., hlm. 305.
[68]Ibid.,hlm. 306.
[69]Saidi, Ridwan. Biografi, Pemikiran dan Perjuangan A. Dahlan Ranuwirahardjo.Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1995. hlm. 206-224.
[70]Solichin.HMI Candradimuka Mahasiswa.Jakarta Pusat: Sinergi Persadatama Foundation, 2010. hlm. 3.
[71]Ibid. hlm. 5
[72]Ibid.,hlm. 38-39.
[73]Ibid.,hlm. 34-36.
[74]Ibid.,89 -95.